Pengertian Mobilitas Sosial – Apakah kamu menyadari bahwa dalam kehidupan bermasyarakat ini, pasti terjadi perpindahan atau perubahan strata sosial pada setiap individunya? Atau bahkan perpindahan atau perubahan strata sosial tersebut justru sudah terjadi pada dirimu?
Adanya perpindahan atau perubahan strata sosial tersebut adalah hal wajar untuk dapat terjadi, baik itu perubahan menuju ke strata sosial yang lebih tinggi atau bahkan lebih rendah dari strata sosial sebelumnya. Hal tersebut terjadi sebab setiap anggota masyarakat pastilah ingin mempunyai hidup yang lebih baik dari sebelumnya, sehingga mereka akan giat berusaha untuk melakukan perubahan strata sosial itu.
Lalu, apa sih pengertian dari mobilitas sosial itu? Kita pasti sudah tahu bahwa mobilitas itu berarti perpindahan, lalu bagaimana dengan mobilitas sosial?
Nah, supaya kamu dapat memahami akan hal tersebut, yuk simak ulasan berikut ini!
Pengertian Mobilitias Sosial
Mobilitas sosial adalah perpindahan individu atau kelompok dari satu posisi sosial ke posisi sosial lainnya dalam suatu masyarakat. Perpindahan ini dapat terjadi dalam satu generasi (mobilitas intragenerasi) atau antar-generasi (mobilitas intergenerasi). Mobilitas sosial dapat terjadi karena faktor-faktor seperti pendidikan, keahlian, status ekonomi, dan faktor-faktor lainnya yang memengaruhi kemampuan seseorang untuk mencapai posisi sosial yang lebih tinggi atau lebih rendah.
Dalam mobilitas sosial, terdapat beberapa jenis perpindahan sosial, yaitu mobilitas vertikal dan mobilitas horizontal. Mobilitas vertikal terjadi ketika seseorang pindah dari posisi sosial yang lebih rendah ke posisi yang lebih tinggi atau sebaliknya, sedangkan mobilitas horizontal terjadi ketika seseorang pindah dari satu posisi sosial ke posisi sosial yang sejajar atau setara.
Mobilitas sosial merupakan hal yang penting dalam masyarakat karena dapat memengaruhi pembagian sumber daya, kesempatan, dan keadilan sosial. Mobilitas sosial yang tinggi dapat membuka peluang untuk meningkatkan kesejahteraan dan memperbaiki posisi sosial individu atau kelompok, sementara mobilitas sosial yang rendah dapat menghambat kemajuan dan menciptakan ketidakadilan sosial. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memperhatikan faktor-faktor yang memengaruhi mobilitas sosial dan memperjuangkan kesempatan yang setara untuk mencapai posisi sosial yang lebih baik.
Konsep Mobilitas Sosial
Sebelum membahas mengenai dampak dari mobilitas sosial, akan lebih baik apabila kamu memahami terlebih dahulu apa sih konsep dari mobilitas sosial itu.
Berdasarkan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), mobilitas sosial itu berarti perubahan kedudukan warga masyarakat kelas sosial yang satu ke kelas sosial yang lain. Hal tersebut selaras dengan pengertian dari “mobilitas” itu sendiri, yakni gerakan berpindah.
Sementara itu, menurut Zamhari, mobilitas sosial adalah gerakan individu dari suatu proses sosial ke posisi sosial yang lain, dalam struktur sosial. Bahkan, ada juga yang mengatakan bahwa mobilitas sosial ini merupakan proses perpindahan dari kedudukan satu ke kedudukan yang lain, baik yang lebih tinggi atau ke yang lebih rendah.
Nah, dari beberapa konsep pengertian akan mobilitas sosial yang telah diungkapkan tersebut, dapat disimpulkan bahwa mobilitas sosial merupakan proses perpindahan seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) dari kedudukan satu ke kedudukan yang lain. Kedudukan ini dapat juga diartikan sebagai situasi tempat atau status sosial yang dimilikinya di mata masyarakat.
Upaya mobilitas sosial ini lebih berpeluang terjadi pada masyarakat modern ketimbang masyarakat yang masih bersifat kuno dan tradisional. Hal tersebut sebab di dalam masyarakat tradisional, biasanya masih menerapkan sistem kasta, sehingga apabila ada anggota masyarakat yang hendak melakukan mobilitas sosial, biasanya tidak akan “diterima”.
Bahkan, dari adanya sistem kasta tersebut juga secara tidak langsung memberikan pemikiran kepada masyarakat bahwa mereka sejak lahir sampai meninggal akan terus berada di kasta tersebut. Misalnya, ada seseorang yang lahir di kasta rendah, maka masyarakat akan berpikir bahwa dirinya akan selamanya berada di kasta rendah tersebut, sekalipun dirinya sudah bekerja keras. Mirisnya, seseorang yang berada di kasta rendah ini tidak mungkin berpeluang untuk pindah ke kasta yang lebih tinggi, meskipun dirinya mempunyai kemampuan atau keahlian, sebab yang menjadi kriteria “penempatan” kasta adalah keturunan.
Teori-Teori Mobilitas Sosial
Sama halnya dengan pokok materi dalam sub disiplin ilmu, mobilitas sosial ini juga mempunyai berbagai teori, sehingga tidak berasal dari pemikiran “ngawur” saja. Teori-teori mengenai mobilitas sosial telah banyak dirumuskan oleh para ahli sosiologi, sebut saja Martin Lipset dan Hans Zetterberg, Ralph Turner, dan Pitirim Sorokin. Nah, berikut adalah ulasan mengenai teori-teori tersebut!
1. Martin Lipset dan Hans Zetterberg
Teori mengenai mobilitas sosial yang dicetuskan oleh Martin dan Hans ini memfokuskan mengenai penyebab dan dimensi terjadinya sebuah mobilitas sosial di kalangan masyarakat.
Dalam hal penyebab terjadinya mobilitas sosial ini ada dua. Pertama, adanya supply (pasokan) dari posisi status yang tidak terisi. Kedua, terjadinya pergantian peringkat. Sederhananya saja, setiap terjadi sebuah mobilitas sosial dengan pergerakan ke arah atas, pasti juga akan ada pergerakan ke arah bawah.
Sementara itu, dalam hal dimensi terjadinya sebuah mobilitas sosial itu ada empat dimensi:
- Ranking Okupasi
Dalam dimensi yang pertama ini, para ahli berpendapat bahwa sebuah pekerjaan yang dimiliki oleh seorang individu, diyakini menjadi faktor penting yang membedakan adanya keyakinan, nilai, norma, kebiasaan-kebiasaan, hingga ekspresi emosional dari seorang individu.
- Ranking Konsumsi
Dalam dimensi ranking konsumsi ini mengacu pada gaya hidup yang dimiliki oleh seorang individu atau sekelompok masyarakat. Orang-orang yang memiliki gaya hidup dan kehormatan (prestise) sama, biasanya akan berada di kelas konsumsi yang sama pula. Indeks penghitungan konsumsi ini tidak berdasarkan penghasilan total pekerjaan, tetapi dari total penghasilan yang telah dihabiskan untuk kegiatan-kegiatan tertentu.
- Ranking Kelas Sosial
Dalam dimensi ini, seorang individu dapat dikatakan berada di suatu kelas sosial yang sama dengan individu lain, apabila mereka menerima individu tersebut secara bersama-sama dan memiliki hubungan antar individu.
Misalnya, A merupakan mahasiswa biasa yang berada di kelas sosial menengah. Namun, dirinya bergaul dengan sekelompok mahasiswa di kelas sosial atas. Nah, orang-orang yang berada dalam kelompok tersebut, menerima A dengan senang hati untuk bergabung bersama mereka. Hal tersebut menjadikan A berada di dimensi kelas sosial atas, meskipun dirinya berasal dari kelas sosial menengah.
- Ranking Kekuasaan
Dalam dimensi ranking ini, merujuk pada hubungan peran, berupa hubungan kekuasaan yang dimiliki oleh individu. Mereka meyakini bahwa kekuasaan atau jabatan yang dimiliki oleh individu lain dapat menjadi “kendaraan” dalam upaya mobilitas sosial ini.
2. Ralph Turner
Teori yang dicanangkan oleh Ralph Turner ini menghubungkan sistem pendidikan dengan upaya mobilitas sosial yang ada. Asumsi yang melatarbelakangi pemikiran tersebut adalah bahwa adanya sistem kelas terbuka, ditandai dengan dibukanya sekolah-sekolah umum, sehingga akan berpeluang bagi masyarakat untuk melakukan mobilitas sosial vertikal.
Ralph Turner juga mengemukakan bahwa mobilitas sosial itu ada dua jenis, yang didasarkan pada norma masyarakat, yakni mobilitas sponsor dan mobilitas kontes.
Dalam mobilitas jenis sponsor, penentuan anggota masyarakat yang dapat masuk di kelas sosial atas adalah melalui pemilihan dan didasarkan pada beberapa kriteria yang semestinya. Penentuan tersebut juga tidak bisa dibatalkan oleh strategi apapun.
Sementara itu, dalam jenis mobilitas kontes, adanya sebuah sistem dimana status sosial atas menjadi hadiah atau imbalan untuk seseorang, apabila berhasil melalui berbagai usaha yang dilakukannya pada suatu persaingan terbuka. Dari adanya “kontes” persaingan tersebut, seseorang akan mengupayakan kemampuan dan strategi mereka untuk bersaing dengan individu lain secara adil.
3. Pitirim Sorokin
Teori ketiga yang diungkapkan oleh Sorokin ini berkaitan dengan kesempatan atau peluang terjadi mobilitas sosial terhadap individu atau sekelompok individu.
Sorokin berpendapat bahwa dalam suatu masyarakat tidak semuanya akan mendapatkan kesempatan yang benar-benar sama dengan orang lain untuk dapat berpindah status sosialnya.
Melalui teori tersebut, secara tidak langsung maka Sorokin membagi dua tipe dari mobilitas sosial, yakni mobilitas horizontal dan mobilitas vertikal.
Bentuk Mobilitas Sosial
Mobilitas sosial yang terjadi di kalangan masyarakat ini, baik itu di perkotaan maupun pedesaan, memiliki dua bentuk yakni mobilitas sosial horizontal dan mobilitas sosial vertikal. Berikut adalah penjelasannya.
1. Mobilitas Horizontal
Mobilitas sosial berbentuk horizontal ini merupakan peralihan individu atau sekelompok individu yang berasal dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya, yang memiliki tingkatan sederajat. Misalnya, seseorang yang sebelumnya bekerja menjadi petani, kemudian atas kerja kerasnya, dirinya berhasil menjadi juragan tengkulak.
Menurut Kurniawati dan Lestari, dalam mobilitas sosial horizontal dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni mobilitas antargenerasi dan mobilitas intragenerasi.
a) Mobilitas Horizontal Antargenerasi
Secara umum, mobilitas horizontal antargenerasi ini berarti perubahan status yang berhasil dicapai oleh seseorang dan berbeda dari status orang tuanya. Dalam hal ini ditandai dengan adanya perkembangan taraf hidup yang terjadi antargenerasi.
Misalnya, ada seorang pedagang cabai yang hanya menamatkan pendidikannya hingga Sekolah Dasar saja. Namun, dirinya berhasil menyekolahkan anaknya hingga lulus sekolah pelayaran. Sang anak ini berhasil mengubah statusnya dan keluarganya sehingga dapat berbeda dengan status orang tuanya sebelumnya.
b) Mobilitas Horizontal Intragenerasi
Mobilitas horizontal intragenerasi ini adalah perpindahan status yang dialami seseorang dalam generasi yang sama. Maksud dari generasi yang sama adalah perpindahan status tersebut terjadi pada dirinya sendiri, bukan atas pencapaian anak atau anggota keluarganya.
Contohnya, ada seseorang yang sebelumnya bekerja sebagai kuli bangunan. Berkat ketekunan dan keberuntungannya, dia berhasil menjadi mandor.
2. Mobilitas Vertikal
Nah, dalam mobilitas vertikal ini tentu saja berbeda dengan mobilitas horizontal. Dalam hal ini, dimaknai sebagai perpindahan seseorang yang berasal dari golongan sosial tertentu ke yang lebih tinggi atau bahkan lebih rendah. Seseorang yang mengalami naik atau turunnya status dalam sistem masyarakat ini, ditentukan oleh golongan sosial, kekayaan, jabatan, hingga kekuasaan.
Menurut Narwoko dan Suyanto, dalam mobilitas sosial vertikal ini justru dapat dibagi menjadi dua hal lagi, yakni:
- Mobilitas sosial dari atas ke bawah (sosial sinking), yakni perpindahan status sosial anggota masyarakat dari kelas sosial tertentu ke kelas sosial yang lebih rendah posisinya.
- Mobilitas dari bawah ke atas (social climbing), yakni perpindahan status sosial anggota masyarakat dari kelas sosial rendah ke kelas sosial yang lebih tinggi.
Cara Melakukan Mobilitas Sosial
Pada dasarnya, semua orang itu berhak dan dapat melakukan upaya mobilitas sosial ini melalui beberapa cara, yakni 1) Perubahan standar hidup; 2) Perubahan tempat tinggal; 3) Perubahan tingkah laku; 4) Perubahan Nama; 5) Pernikahan; dan 6) Bergabung dalam Asosiasi Tertentu.
1. Perubahan Standar Hidup
Dalam hal ini sangat berkaitan dengan gaya hidup dan standar hidup yang dijalani oleh individu. Adanya kenaikan penghasilan pekerjaan mereka tidak lantas menaikkan status sosial mereka secara otomatis, tetapi justru akan terlihat dalam standar hidupnya. Misalnya, Alex adalah seorang pegawai biasa, tetapi berkat usahanya bertahun-tahun, dirinya berhasil naik pangkat menjadi seorang manager dan tentu saja pendapatannya juga akan naik.
Namun, di mata masyarakat, status sosialnya tidak dapat dikatakan naik apabila dirinya tidak mengubah gaya hidupnya. Hal yang dapat dilakukan Alex, contohnya adalah dengan mengenakan kemeja bermerk dan tampil lebih berwibawa.
2. Perubahan Tempat Tinggal
Untuk dapat meningkatkan status sosial, seseorang harus mau berpindah tempat tinggal ke wilayah lain. Tidak hanya itu, seseorang juga bisa merekonstruksi tempat tinggalnya menjadi bentuk yang lebih megah dan indah.
Hal tersebut secara tidak langsung menjadikannya terlihat berada di kelas atas, terutama di mata masyarakat. Upaya tersebut juga dapat menunjukkan bahwa seseorang tersebut sedang mengalami mobilitas sosial ke arah atas.
3. Perubahan Tingkah Laku
Untuk mendapatkan status sosial yang lebih tinggi, seseorang biasanya akan mempraktikkan tingkah laku yang mencerminkan dari kelas sosial tinggi. Tidak hanya tingkah laku, tetapi juga pada cara berbicara, kosakata yang digunakan, pakaian, hingga minat akan suatu hal.
4. Perubahan Nama
Tanpa disadari, sebuah nama yang dimiliki oleh seseorang juga mengidentifikasi kelas sosialnya. Tidak hanya pada nama saja, tetapi juga pada panggilan sapaan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya, di wilayah Jawa, sapaan “kang” ditujukan untuk lelaki biasa. Sementara itu, apabila berhasil diangkat sebagai pengawas pamong praja, maka sapaan “kang” tersebut akan berubah menjadi “raden” sesuai dengan kedudukannya.
Perubahan nama tersebut nantinya akan memperlihatkan kepada masyarakat bahwa dirinya berhasil melakukan mobilitas sosial.
5. Pernikahan
Peningkatan status sosial ke tingkat yang lebih tinggi juga bisa dilakukan melalui pernikahan lho…
Contohnya kerap kita temui di sekitar lingkungan. Seseorang yang berasal dari keluarga sederhana, berhasil menikah dengan seseorang dari kalangan keluarga terpandang. Maka secara tidak langsung, pernikahan tersebut juga akan meningkatkan statusnya. Pernikahan beda status sosial itu masih bisa ditemui dalam masyarakat modern yang sudah tidak memikirkan sistem kasta.
6. Bergabung dalam Asosiasi Tertentu
Cara selanjutnya untuk dapat meningkatkan status sosial seseorang adalah dengan bergabung dengan asosiasi atau organisasi tertentu. Contohnya, ada seseorang dengan latar belakang pendidikan tamatan Sekolah Menengah Pertama saja. Namun, dirinya bergabung dengan sebuah organisasi masyarakat yang secara tidak langsung mengajarkan akan banyak hal termasuk dengan public speaking. Setelah dirinya berhasil menyadari akan potensi tersebut, kemudian berusaha keras hingga akhirnya dapat diangkat menjadi ketua dan dipandang oleh masyarakat. Maka dengan demikian, status sosialnya juga telah dapat berubah.
Faktor Penghambat dan Faktor Pendorong Terjadinya Mobilitas Sosial
Faktor Penghambat Terjadinya Mobilitas Sosial
Terjadinya mobilitas sosial ini didorong oleh beberapa faktor, yakni faktor struktur dan faktor individu. Nah, berikut adalah uraiannya.
Faktor Struktur
1. Struktur Pekerjaan
Umumnya, aktivitas ekonomi yang dilakukan dalam lingkungan masyarakat dibedakan menjadi dua sektor, yakni sektor formal dan sektor informal. Adanya perbedaan tersebut jelas mempengaruhi tingkat “keberhasilan” mobilitas sosial masyarakat yang terlibat.
Terutama pada sektor pertanian, anggota masyarakat yang terlibat lebih banyak memiliki status kedudukan rendah, sehingga tingkat mobilitasnya juga akan rendah.
Namun, hal tersebut tidak lantas membuat mereka “gagal” dalam upaya mobilitas sosial. Justru saat ini sudah banyak anggota masyarakat yang bekerja di sektor pertanian dan berhasil melakukan mobilitas sosial, baik secara horizontal maupun vertikal.
2. Ekonomi Ganda
Ekonomi ganda ini biasanya terjadi di negara berkembang, sehingga menimbulkan dualisme. Pertama, kegiatan ekonominya masih dikuasai oleh unsur-unsur yang bersifat tradisional. Kedua, kegiatan ekonominya dikuasai oleh unsur-unsur yang bersifat modern.
3. Pengalaman Belajar
Anggota masyarakat yang berasal dari kelas sosial menengah, umumnya memiliki pengalaman belajar yang lebih terjamin daripada pengalaman belajar yang dimiliki oleh anggota masyarakat dari kelas sosial rendah.
Apalagi, adanya pandangan bahwa ijazah, test, rekomendasi, hingga jaringan hubungan antar teman dapat menjadi tempat bertukar informasi disertai dengan rekomendasi yang menyangkut pada kesempatan kerja. Hal tersebut menyulitkan bagi orang-orang luar untuk “menerobosnya”, sehingga akan menimbulkan diskriminasi.
Faktor Individu
1. Perbedaan Kemampuan
2. Perbedaan Perilaku
- Pendidikan
- Kebiasaan Kerja
- Pola Penundaan Kesenangan
- Kemampuan Cara Bermain
- Pola Kesenjangan Nilai
- Faktor Keberuntungan
Faktor Pendorong Terjadinya Mobilitas Sosial
1. Perubahan Situasi Politik
Perubahan situasi politik yang terjadi di suatu negara pada dasarnya dapat menjadi bentuk dukungan rakyat terhadap struktur pemerintah yang baru tersebut. Nah, melalui dukungan-dukungan tersebut, maka seorang individu juga memiliki keinginan untuk mengembangkan “usahanya” supaya dapat melakukan mobilitas sosial.
2. Perubahan Sosial Budaya
Dalam kehidupan bermasyarakat, baik di perkotaan atau pedesaan, pasti akan senantiasa terjadi perubahan, baik dalam struktur sosial, interaksi sosial, hingga sistem tata nilai yang berlaku. Perubahan-perubahan tersebut nantinya dapat mendorong individu melakukan penyesuaian terhadap tuntutan perubahan tersebut, sehingga secara tidak sadar akan menimbulkan keinginan untuk melakukan social climbing.
Ingat, social climbing adalah perpindahan status sosial anggota masyarakat dari kelas sosial rendah ke kelas sosial yang lebih tinggi.
Tidak hanya itu, kemajuan teknologi dan perubahan ideologi juga membuka kemungkinan akan timbulnya mobilitas ke arah atas serta “menciptakan” stratifikasi baru yang berkembang di masyarakat.
3. Perubahan Ekonomi
Situasi ekonomi yang berjalan di suatu masyarakat, tentu saja memberikan dorongan kepada individu atau sekelompok individu untuk meningkatkan status sosial mereka. Apalagi jika situasi ekonomi pada kala itu membaik dan membuat mereka berhasil dalam menjalankan berbagai macam usaha.
Mobilitas Sosial Melalui Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu saluran dalam upaya mobilitas sosial yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Pendidikan memang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup bangsa dan supaya dapat mengejar ketertinggalan dari negara-negara yang maju.
Lalu, apa hubungan tingkat pendidikan dengan tingkat sosial ekonomi seseorang? Nah, berikut adalah gambaran yang dicetuskan oleh Clark.
1. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka akan semakin tinggi pula penghasilannya. Contohnya, seseorang dengan tamatan pendidikan SMA ketika bekerja dengan seseorang tamatan perguruan tinggi, maka penghasilan yang lebih tinggi biasanya adalah tamatan perguruan tinggi.
Meskipun tidak dipungkiri juga bahwa tamatan pendidikan SMA juga dapat berpenghasilan tinggi, tetapi hal ini didasarkan pada realitas sosial yang terjadi.
2. Seseorang dengan tamatan Sekolah Dasar (atau Sekolah Menengah Pertama), akan mendapatkan penghasilan maksimal pada usia sekitar 25-34 tahun. Sementara itu, seseorang dengan tamatan Sekolah Menengah Atas, akan mendapatkan penghasilan maksimal pada usia sekitar 35-44 tahun. Lalu, seseorang dengan tamatan perguruan tinggi, akan mendapatkan penghasilan maksimal pada usia sekitar 45-54 tahun.
3. Seseorang dengan tamatan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, pada usia tua akan mendapatkan hasil yang lebih rendah dari hasil ketika mereka mulai bekerja. Sementara itu, pada seseorang dengan tamatan Sekolah Menengah Atas, pada usia tua akan mendapatkan hasil yang seimbang dengan hasil ketika mereka mulai bekerja. Lalu, pada seseorang dengan tamatan perguruan tinggi, pada usia tua akan mendapatkan hasil yang lebih besar dari ketika mereka mulai bekerja.
Nah, itulah penjelasan mengenai dampak mobilitas sosial yang terjadi pada anggota masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat. Sebenarnya, mobilitas sosial ini tentu saja memberikan banyak dampak positif bagi anggota masyarakat, sebab secara tidak langsung justru menjadi motivasi tersendiri bagi mereka supaya mau maju dan hidup yang lebih baik.
Baca Juga:
- Dampak Mobilitas Sosial: Pengertian, Bentuk dan Faktornya
- Apa Itu Ketimpangan Sosial? Pengertian, Penyebab, Dampak dan Cara Mengatasi
- Pengertian Masalah Sosial: Pengertian, Faktor, dan Dampaknya
Sumber:
Nasution, Aris. (2019). Sosiologi Pendidikan: Profesionalisme Pendidikan di Sekolah. Malang: CV Ismaya Berkah Group.